Jakarta, CNN Indonesia --
Para master memastikan bahwa radiasi ponsel tidak menyebabkan kanker otak dan masalah lain di kepala. Simak penjelasannya.
Temuan tersebut berasas hasisl kajian para peneliti terhadap 63 penelitian sejak 1994 hingga 2022. Analisis ini diminta langsung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Studi nan dipimpin oleh Australian Radiation Protection and Nuclear Safety Agency (Arpansa), melakukan tinjauan sistematis dan meneliti lebih dari 5.000 penelitian nan diidentifikasi sebagai penelitian nan paling kuat secara ilmiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis utama tinjauan tersebut, associate professor Ken Karipidis mengatakan kajian akhir mencakup 63 studi observasional pada manusia nan diterbitkan antara tahun 1994 dan 2022. Ini menjadikannya tinjauan paling komprehensif hingga saat ini.
"Kami menyimpulkan bahwa bukti-bukti nan ada tidak menunjukkan adanya hubungan antara ponsel dan kanker otak alias kanker kepala dan leher lainnya," kata Ken, mengutip The Guardian, Kamis (5/9).
Tinjauan nan terbit pada Rabu (4/9) itu berfokus pada kanker sistem saraf pusat (termasuk otak, meninges, kelenjar hipofisis, dan telinga), tumor kelenjar ludah, dan tumor otak.
Tinjauan tersebut tidak menemukan hubungan secara keseluruhan antara penggunaan ponsel dan kanker, tidak ada hubungan dengan penggunaan jangka panjang (jika orang menggunakan ponsel selama 10 tahun alias lebih), dan tidak ada hubungan dengan jumlah penggunaan ponsel (jumlah panggilan nan dilakukan alias waktu nan dihabiskan untuk menelepon).
"Saya cukup percaya dengan konklusi kami. Dan nan membikin kami cukup percaya diri adalah... meskipun penggunaan ponsel telah meroket, tingkat tumor otak tetap stabil," kata Ken.
Ponsel, sebagaimana benda-benda nan menggunakan teknologi nirkabel, termasuk laptop, transmisi radio dan TV, serta menara ponsel, memancarkan radiasi elektromagnetik gelombang radio, nan juga dikenal sebagai gelombang radio.
Ken mengatakan bahwa orang-orang mendengar kata radiasi dan menganggapnya mirip dengan radiasi nuklir.
"Dan lantaran kita menggunakan ponsel di dekat kepala saat menelepon, ada banyak kekhawatiran," jelasnya.
"Radiasi pada dasarnya adalah daya nan beranjak dari satu titik ke titik lainnya. Ada banyak jenis nan berbeda, misalnya radiasi ultraviolet dari matahari," imbuh dia.
Menurut Ken, meskipun paparan dari ponsel tetap rendah, namun jauh lebih tinggi daripada paparan dari sumber teknologi nirkabel lainnya lantaran ponsel digunakan di dekat kepala.
Hubungan antara ponsel dan kanker muncul dari penelitian awal, ketika para peneliti meneliti perbedaan antara sekelompok orang nan menderita tumor otak, dan golongan terpisah tanpa kanker dengan menanyakan riwayat paparan mereka.
Ken menjelaskan hasil dari kreasi penelitian semacam ini condong bias lantaran meskipun golongan tanpa tumor memberikan info nan baik, golongan dengan tumor condong melaporkan secara berlebihan paparan mereka.
Berdasarkan beberapa penelitian awal nan menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan kanker otak akibat penggunaan ponsel di kepala selama berjam-jam, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) WHO menetapkan medan gelombang radio seperti nan berasal dari ponsel sebagai akibat kanker.
Ken mengatakan bahwa meskipun banyak personil masyarakat nan menjadi cemas lantaran pengelompokkan IARC, pengelompokkan ini tidak terlalu berarti.
IARC mempunyai pengelompokkan akibat kanker nan berbeda, dengan zat-zat nan dapat diklasifikasikan sebagai karsinogen "pasti" (seperti merokok), alias sebagai karsinogen "kemungkinan" alias "mungkin".
Dengan menetapkan medan elektromagnetik gelombang radio sebagai kemungkinan karsinogen pada tahun 2011, WHO menempatkannya setara dengan ratusan pemasok lain nan bukti bahayanya belum pasti, seperti lidah buaya, acar sayuran, dan bekerja di binatu.
Namun, pada saat itu beberapa master terkenal seperti mahir bedah saraf Australia, Charlie Teo, secara terbuka mengangkat profil keputusan IARC seputar ponsel dan kanker.
Sejak pengelompokkan tersebut, Ken mengatakan lebih banyak lagi studi golongan nan telah diterbitkan nan tidak berjuntai pada orang-orang untuk mengingat paparan mereka di masa lampau dan pada tahun 2019, WHO menugaskan sejumlah tinjauan sistematis untuk memandang pengaruh kesehatan dari gelombang radio.
Menurut Ken tinjauan sistematis lain nan ditugaskan WHO untuk mengawasi kesuburan laki-laki dan gelombang radio menemukan bahwa tidak ada bukti hubungan antara ponsel dan penurunan jumlah sperma.
Tinjauan sistematis lain nan ditugaskan WHO nan mengawasi kesuburan wanita memang menemukan hubungan dalam beberapa skenario seperti memengaruhi berat badan lahir.
"Namun, hubungan itu terjadi ketika paparan gelombang radio jauh di atas pemisah aman," kata dia.
Tim Driscoll, seorang guru besar di University of Sydney dan ketua komite kanker akibat kerja dan lingkungan dari Australian Cancer Council, mengatakan bahwa metodologi tinjauan sistematis ini sangat kuat dan para peneliti kudu dianggap independen.
"Saya pikir orang kudu merasa diyakinkan oleh penelitian ini, tetapi perlu diingat bahwa penelitian ini tidak sempurna, tetapi berat bukti nan ada tentu saja adalah bahwa ponsel kudu dianggap kondusif untuk digunakan dalam perihal kekhawatiran tentang peningkatan akibat kanker," kata Driscoll.
Ken dan rekan-rekannya sekarang sedang mengerjakan bagian kedua dari penelitian ini, nan bakal meneliti kanker nan jarang dikaitkan dengan ponsel, termasuk leukemia dan limfoma non-Hodgkin.
Dia mengatakan bahwa kekhawatiran seputar hubungan antara kanker dan ponsel kudu dihentikan, namun menekankan bahwa teknologi bakal terus berkembang, sehingga krusial untuk melanjutkan penelitian.
(tim/dmi)
[Gambas:Video CNN]