Kenapa Rumah Subsidi untuk Masyarakat Kurang Mampu Banyak yang Kosong?

Trending 3 weeks ago

Jakarta, CNN Indonesia --

Perumahan subsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin bisa banyak kosong dan terbengkalai. Salah satunya di Villa Kencana, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

Rumah nan diresmikan Jokowi pada 2017 lampau itu tampak seperti wilayah tak berhuni. Tanaman liar tampak meranggas di antara tembok rumah dengan warna kuning nan memudar dan mengelupas.

Sama tragisnya, bagian genting beberapa rumah pun terlihat rapuh, apalagi ada nan sudah ambrol. Rumah-rumah itu tak berpenghuni, bagian dalam pun berantakan, dihiasi akar-akar tanaman liar di sana sini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proyek rumah murah ini semula diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui angsuran kepemilikan rumah (KPR) subsidi. Namun, sekarang tempat itu ditinggalkan, hanya rayap nan setia berada di sana untuk menggerogoti pintu bobrok.

Tak hanya di Cikarang, kondisi sama juga terjadi di rumah subsidi lainnya. Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan tetap menemukan rumah nan dibeli dengan support Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak ditempati namalain kosong.

Kejadian itu apalagi terjadi di beberapa provinsi.

"Saya melihat, ini minta maaf sekali, beberapa perumahan nan mendapatkan FLPP, KPR (kredit pemilikan rumah), dan sebagainya saya temui tetap banyak nan kosong. Itu tetap ada nan kosong di beberapa provinsi, ada nan 60 persen apalagi 80 persen," ucap dia dalam aktivitas Proptech Convention and Expo di Auditorium Kementerian PUPR, Jumat (23/8).

Pemerintah tak banyak menjelaskan kenapa rumah-rumah itu banyak kosong dan terbengkalai.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono malah menekankan pembentukan Kementerian Perumahan di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kelak lah nan bakal konsentrasi untuk mengatasi perihal tersebut.

"Nanti dengan Kementerian Perumahan bisa, makanya lebih fokus," tutur dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/9).

Basuki mengapresiasi rencana pembentukan Kementerian Perumahan di pemerintahan selanjutnya. Menurutnya, pembentukan kementerian baru itu bakal membikin pemerintah lebih konsentrasi untuk mengerjakan program jagoan Prabowo ialah program 3 juta rumah dalam satu tahun.

Selain itu, Kementerian Perumahan juga bakal berfokus untuk mengatasi masalah backlog alias kekurangan pasokan hunian.

"Karena backlognya tetap banyak, kan tetap sekitar 9 jutaan. Itu dengan Kementerian Perumahan menurut saya lebih bagus, lebih fokus," ucapnya lebih lanjut.

Persoalan rumah subsidi kosong dan terbengkalai itu menjadi ironi. Maklum, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempunyai ambisi besar untuk memangkas kekurangan pasokan (backlog) perumahan.

Ambisi tersebut dia coba wujudkan dengan mencanangkan program satu juta rumah per tahun sejak awal pemerintahannya, sepuluh tahun silam. Pada saat itu, alias 2015, nomor backlog tetap berada di level 11,4 juta.

Jokowi apalagi menargetkan bisa menekan backlog menjadi ke level 6,8 juta dalam kurun waktu 5 tahun.

Jauh panggang dari api, hingga 2023 nomor backlog malah naik. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) mencatat nomor backlog mencapai 12,7 juta pada tahun lalu.

Terkait realisasi program satu juta rumah, Kementerian PUPR mencatat sejak dicanangkan Jokowi pada 2015 realisasi program ini telah mencapai 9.206.379 unit per akhir 2023.

Khusus 2024, telah ditetapkan prognosis sebesar 1.042.738. Sementara, hingga akhir Juli, capaian program satu juta rumah baru mencapai 617.622 unit alias 59.23 persen dari total sasaran nasional.

Angka tersebut meliputi pembangunan bagi MBR sebesar 484.119 unit dan non MBR 133.503 unit di seluruh Indonesia.

Lantas, apa biang kerok banyak rumah subsidi terbengkalai di tengah backlog kediaman nan masing 12,7 juta unit?

Pengamat properti Aleviery Akbar menilai masalah itu dipicu beberapa faktor. Salah satunya, kesalahan letak kediaman subsidi.

Hal itu membikin minat masyarakat nan menjadi sasaran rendah. Pasalnya, letak nan jauh itu berakibat pada jumlah biaya transportasi nan mereka keluarkan untuk mencari nafkah maupun ke akomodasi lain seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar.

Akhirnya, mereka lebih suka mengontrak demi menekan pengeluaran transportasi daripada membeli rumah subsidi.

"Misalnya pekerja nan mendapatkan rumah berlokasi jauh dari tempatnya bekerja. Sehingga, kudu menambah lagi biaya transportasi dan akhirnya ditinggalkan oleh pemilik," kata dia kepada CNNIndonesia.com.

Faktor lain, pemberian pembiayaan kepada masyarakat nan tidak tepat sasaran. Banyak masyarakat nan membeli rumah subsidi sebenarnya secara finansial mampu.

Tapi mereka membeli rumah subsidi untuk tujuan investasi. Mereka membeli kemudian tidak ditempati.

Karenanya, lembaga pembiayaan perumahan pun semestinya bisa profiling dulu pesertanya sehingga bisa tepat sasaran.

Selain masalah itu, Aleviery menyebut alokasi subsidi KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari pemerintah juga tak cukup membantu masyarakat untuk membeli rumah.

Hal itu pun berimplikasi pada backlog nan tetap tinggi. Menurutnya, kuota FLPP tetap belum cukup.

"FLPP hanya bisa menyalurkan ratusan ribu rumah saja, tapi backlog perumahan sudah jutaan. Artinya, memang gap-nya terlalu jauh," jelas Aleviery.

Kementerian PUPR sendiri baru saja menambahkan alokasi FLPP sebanyak 34 ribu unit rumah tahun ini. Dengan begitu, unit FLPP tahun ini naik dari 166 ribu menjadi 200 ribu unit.

Adapun anggaran nan disiapkan untuk alokasi tambahan itu mencapai Rp4,3 triliun. Dengan tambahan tersebut, pendanaan KPR FLPP tahun ini total menjadi Rp18 triliun.

Lebih lanjut, Aleviery mengatakan, dengan info realisasi backlog nan tetap mencapai 12,7 juta unit, maka sasaran Jokowi menekan kesenjangan kediaman belum tercapai. Meskipun program satu juta rumah sudah melangkah nyaris 10 tahun.

Ia pun lantas mengingatkan pemerintah untuk melakukan sejumlah kebijakan agar backlog itu bisa ditekan. Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan lahan dan prasarana di sekitar perumahan nan dibangun.

Selain itu, kerja sama dengan pihak developer/pengembang swasta kudu ditambah dan lebih luas lagi. Sebab, untuk mencapai sasaran sejuta rumah tidak bisa dibebankan hanya kepada Kementerian Perumahan saja.

"Di samping itu, kemudahan pembiayaan kepemilikan rumah kepada masyarakat juga perlu lebih diperluas," ucap Aleviery.