Jakarta, CNN Indonesia --
Siapa nan menyangka, kota Vientiane, nan sebelumnya tak pernah terlintas di akal saya, menjadi tempat tinggal saya selama enam bulan. Awalnya, saya berpikir, "Vientiane? Bukankah itu mirip dengan Vietnam? Atau mungkin dekat Vienna?"
Ternyata, kota ini adalah ibu kota Laos, negara nan sering disebut "Tanah Terkunci" lantaran dikelilingi oleh Myanmar, Vietnam, China, Kamboja, dan Thailand. Meski tanpa garis pantai, Laos memikat dengan pegunungan dan hutan-hutannya nan memesona.
Saat saya berpamitan untuk penugasan di Laos, ketua saya sempat bertanya dengan nada sedikit meremehkan, "Kenapa kudu ke Laos?" Namun, siapa sangka, saya justru jatuh cinta-bukan hanya pada Vientiane, tetapi juga pada orang-orangnya nan hangat dan ramah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laos adalah negara ke-23 nan saya kunjungi, dan tugas saya kali ini datang dari Badan Bahasa, Kemendikbudristek, untuk mengajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) serta mengenalkan budaya Indonesia di KBRI Vientiane.
Berbagai aktivitas seperti kelas angklung, membatik, menari, memasak, hingga menonton movie Indonesia, semua saya lakukan berbareng murid-murid Laos nan antusias.
Menariknya, saya sempat mengambil kelas tari Topeng Malangan sebelum berangkat, dengan tujuan mengenalkan tarian unik dari kota kelahiran saya, Malang. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, murid-murid sangat antusias dan kooperatif mengikuti kelas sampai saat ini.
Berbagai macam tujuan mereka mempelajari bahasa Indonesia, antara lain, mau melanjutkan studi S2 di Indonesia, mau mengikuti program pertukaran bahasa dan budaya di universitas-universitas Indonesia, mau berekreasi ke Indonesia, dan juga mau bekerja di sana.
Selama tinggal di Vientiane, saya sering mendengar komentar nan bersuara skeptis. Seorang visitor pernah berkata, "Nothing to do here right?" Namun, saya berpikir sebaliknya. Justru ada banyak perihal nan bisa dilakukan.
Mengajar bahasa dan budaya Indonesia, menjelajahi beragam situs seperti Wat Sisaket, Wat That Luang, Museum Ho Prakheo, Museum Lao Textile, dan Patuxai, hingga berbagi momen memasak dan joging dengan murid-murid, semua memberi warna tersendiri dalam keseharian saya.
Tak lupa, selama penugasan ini, saya juga berhadapan dengan tantangan unik. Salah satunya adalah "jam karet" jenis Laos, di mana keterlambatan siswa sering terjadi lantaran budaya Sabai Sabai, nan barangkali serupa dengan sikap santuy di Indonesia.
Bersambung ke laman selanjutnya>>>>>